Bukan Solusi, Ini Dampak Serius Jika DPR RI Dibubarkan Rakyat!

Pernahkah kamu membayangkan, apa jadinya kalau Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dibubarkan oleh rakyat? Mungkin ini terdengar seperti adegan di film-film atau wacana yang sering dilemparkan saat kekecewaan publik memuncak. Tapi, di balik angan-angan itu, ada pertanyaan fundamental: apakah secara hukum dan konstitusional hal itu mungkin terjadi, dan apa konsekuensinya?
Artikel ini akan mengupas tuntas skenario ekstrem tersebut. Kita akan menelusuri landasan hukum di Indonesia, bagaimana sejarah mencatat pembubaran lembaga sejenis, dan yang paling penting, apa dampak besar yang akan menimpa negara ini jika hal itu benar-benar terjadi. Mari kita bedah bersama, dengan kepala dingin dan pemahaman yang mendalam.
Landasan Hukum dan Konstitusi: Benarkah Rakyat Bisa Membubarkan DPR?
Pertama-tama, mari kita luruskan dulu. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang berdasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), tidak ada satu pun pasal yang memberikan kewenangan kepada rakyat—dalam artian unjuk rasa atau gerakan massa—untuk membubarkan DPR.
DPR adalah salah satu lembaga negara yang kedudukannya diatur secara jelas dalam konstitusi kita. Pembentukannya melalui pemilihan umum (Pemilu) yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Kekuatan DPR tidak datang dari sekelompok massa, melainkan dari mandat rakyat yang diberikan melalui mekanisme demokrasi, yaitu pemilihan umum.
Menurut UUD 1945, kekuasaan negara di Indonesia dibagi dalam beberapa lembaga, termasuk:
- Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
- Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
- Presiden dan Wakil Presiden
- Mahkamah Konstitusi (MK)
- Mahkamah Agung (MA)
- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Setiap lembaga ini memiliki tugas, fungsi, dan kewenangan yang saling terpisah (trias politica) untuk memastikan adanya check and balances. Artinya, tidak ada satu pun lembaga yang bisa membubarkan lembaga lain secara sepihak, apalagi oleh gerakan di luar sistem.
Lalu, Siapa yang Punya Kewenangan Membubarkan?
Dalam konteks konstitusi Indonesia, tidak ada lembaga yang memiliki kewenangan untuk membubarkan DPR. Bahkan Presiden pun tidak bisa. Kenapa? Karena pembubaran DPR akan membatalkan hasil Pemilu dan meruntuhkan pilar utama demokrasi perwakilan.
Satu-satunya skenario yang paling mendekati "pembubaran" adalah ketika masa jabatan DPR berakhir dan digantikan oleh anggota DPR yang baru hasil Pemilu berikutnya. Proses ini bukan pembubaran, melainkan pergantian keanggotaan secara periodik dan konstitusional.
Pembubaran yang sering kita dengar dalam konteks ketatanegaraan biasanya berlaku untuk lembaga di bawah kekuasaan eksekutif (misalnya, badan atau komisi). Itu pun harus melalui Keputusan Presiden (Keppres) atau Peraturan Presiden (Perpres) dengan alasan yang kuat, seperti efisiensi anggaran atau tumpang tindih kewenangan. Jadi, membubarkan lembaga setingkat DPR, yang dibentuk oleh konstitusi, adalah hal yang secara hukum tidak dimungkinkan.
Konsekuensi Jika Skenario Ekstrem Itu Terjadi
Mari kita berandai-andai sejenak. Jika, entah bagaimana, gerakan massa berhasil "membubarkan" DPR dan kekuasaan legislatif lumpuh total, apa yang akan terjadi? Ini bukan hanya soal kekacauan politik, tapi juga krisis sistemik yang akan mengancam fondasi negara.
1. Kekosongan Kekuasaan dan Vakum Hukum
Fungsi utama DPR adalah:
- Fungsi Legislasi: Membuat undang-undang bersama Presiden.
- Fungsi Anggaran: Menyetujui dan mengawasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
- Fungsi Pengawasan: Mengawasi jalannya pemerintahan.
Jika DPR bubar, ketiga fungsi vital ini akan lumpuh.
- Tidak Ada Undang-Undang Baru: Proses legislasi akan berhenti total. Undang-undang baru yang dibutuhkan untuk mengatasi persoalan ekonomi, sosial, atau politik tidak akan bisa dibuat.
- Anggaran Negara Macet: APBN tahunan tidak akan disahkan. Ini akan mengakibatkan kelumpuhan total pada roda pemerintahan. Gaji PNS, operasional kementerian, pembangunan infrastruktur, hingga bantuan sosial akan terhenti.
- Tidak Ada Pengawasan: Pemerintahan akan berjalan tanpa pengawasan dari legislatif. Ini membuka pintu lebar-lebar bagi praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan kebijakan yang tidak pro-rakyat karena tidak ada yang mengontrol.
Kondisi ini akan menciptakan vakum hukum dan kekosongan kekuasaan di tingkat legislatif, yang pada akhirnya akan mengarah pada anarki. Negara tidak bisa berjalan tanpa hukum dan aturan yang jelas.
2. Krisis Politik dan Konstitusional yang Parah
Pembubaran DPR oleh massa adalah tindakan di luar konstitusi (ekstra-konstitusional). Ini sama saja dengan menolak sistem demokrasi yang sudah dibangun dan dianut oleh bangsa ini.
Konsekuensinya:
- Kekacauan Tatanan Hukum: Tatanan hukum dan konstitusi akan hancur. Siapa yang berhak membuat hukum? Siapa yang berhak mengawasi? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak akan terjawab.
- Legitimasi Pemerintah Melemah: Jika salah satu pilar demokrasi runtuh, legitimasi lembaga lain (termasuk Presiden) juga akan dipertanyakan. Apa gunanya Presiden yang dipilih secara demokratis jika lembaga legislatif yang juga dipilih secara demokratis bisa dibubarkan begitu saja?
- Potensi Intervensi Asing: Kekacauan politik dalam negeri akan menjadi celah bagi kekuatan asing untuk ikut campur. Stabilitas sebuah negara adalah faktor penting bagi hubungan internasional. Ketika stabilitas goyah, intervensi, baik dalam bentuk politik maupun ekonomi, bisa saja terjadi.
3. Dampak Sosial dan Ekonomi yang Menghancurkan
Kekacauan politik pasti akan merembet ke sektor lain, terutama ekonomi dan sosial.
- Anjloknya Perekonomian: Investor, baik asing maupun domestik, membutuhkan kepastian hukum dan stabilitas politik. Ketika DPR dibubarkan dan hukum tidak berfungsi, tidak ada jaminan bagi investasi mereka. Nilai tukar rupiah akan anjlok, bursa saham ambruk, dan ekonomi akan masuk ke jurang resesi atau bahkan depresi.
- Kondisi Sosial yang Tidak Stabil: Ketidakpastian politik dan ekonomi akan memicu keresahan sosial. Pengangguran akan melonjak, harga kebutuhan pokok melambung, dan tingkat kejahatan bisa meningkat. Kondisi ini bisa memicu konflik horizontal (antar kelompok masyarakat) dan vertikal (antara masyarakat dengan aparat).
- Kembalinya Sistem Otoriter: Ketika demokrasi tidak bisa menyelesaikan masalah, ada kecenderungan masyarakat untuk mencari "sosok kuat" yang bisa mengendalikan situasi. Ini adalah celah bagi kembalinya rezim otoriter atau bahkan junta militer yang mengambil alih kekuasaan dengan dalih "menyelamatkan negara." Sejarah telah mencatat, banyak negara yang jatuh ke tangan diktator setelah mengalami kekacauan politik.
Kenapa Pembubaran DPR Bukan Solusi?
Kita harus jujur, kekecewaan rakyat terhadap kinerja DPR seringkali beralasan. Mulai dari kasus korupsi, kebijakan yang tidak pro-rakyat, hingga perilaku anggota dewan yang kontroversial. Namun, membubarkan lembaga ini bukanlah solusi, melainkan melumpuhkan seluruh sistem.
Solusi yang demokratis dan konstitusional adalah:
- Menggunakan Hak Suara dengan Cerdas: Pemilu adalah alat paling kuat yang dimiliki rakyat. Gunakan hak pilihmu untuk memilih wakil rakyat yang benar-benar berintegritas dan memiliki rekam jejak yang baik. Jangan memilih hanya karena uang atau janji kosong.
- Meningkatkan Pengawasan: Kita bisa mengawasi kinerja anggota DPR melalui media sosial, petisi online, atau bergabung dengan organisasi masyarakat sipil. Tekanan publik yang terorganisir bisa menjadi kekuatan yang efektif untuk memaksa DPR bekerja lebih baik.
- Mendesak Perubahan Aturan: Jika ada aturan yang dirasa merugikan, doronglah revisi undang-undang atau ajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Ini adalah cara-cara yang sah dan konstitusional.
DPR adalah representasi dari kita semua. Kalau kita tidak puas, artinya kita harus memperbaiki cara kita memilih. Kita tidak bisa menghancurkan rumah hanya karena satu atau dua ruangan kotor. Sebaliknya, kita harus membersihkannya bersama-sama.
Kesimpulan
Membubarkan DPR RI oleh rakyat adalah skenario yang secara hukum dan konstitusional tidak mungkin terjadi di Indonesia. Jika pun hal itu dipaksakan, konsekuensinya adalah kekosongan kekuasaan, vakum hukum, krisis politik, serta kehancuran ekonomi dan sosial yang masif.
Meskipun wacana ini sering muncul sebagai bentuk ekspresi kekecewaan, jalan keluar yang sesungguhnya bukanlah dengan merusak sistem, melainkan dengan memperbaikinya. Demokrasi memberikan kita alat untuk melakukan perubahan, yaitu pemilu, pengawasan, dan partisipasi aktif. Daripada membayangkan kehancuran, mari kita berfokus pada bagaimana kita bisa menjadi bagian dari solusi untuk membangun legislatif yang lebih baik dan lebih bertanggung jawab.
Masa depan negara ini ada di tangan kita, bukan di tangan massa yang marah tanpa arah.
Posting Komentar